Bekal Menjadi Penerjemah Lepas

Pertama-tama, saya terinspirasi dan mengambil poin-poin penting artikel ini dari sini. Kedua, selamat membaca 🙂

Pendahuluan

Menjadi seorang penerjemah freelance adalah salah satu opsi yang sebelumnya tidak sempat terpikirkan, mengingat latar belakang pendidikan saya yang berada di luar urusan kebahasaan meski saya sangat menggandrungi dunia kepenulisan. Namun, meski masih banyak yang menganggap bahwa pekerjaan seorang freelance itu tidak tentu, tidak menjanjikan, sekedar “kerjaan” saat senggang, dan seterusnya, saya justru semakin total menggeluti bidang ini.

Freelancing is a demanding job dan punya deadline sama seperti pekerjaan full time (Sumber: blog sribu)

Ada beberapa hal yang saya jadikan “pegangan” ketika akhirnya saya memberanikan diri menggeluti dunia penerjemahan. Selain karena adanya informasi mengenai peluang “bekerja dari rumah”, juga ada kesempatan belajar banyak hal. Yang pada akhirnya, bagi saya pribadi, menjadi seorang penerjemah, khususnya penerjemah lepas, bukan melulu soal karir. Dan asyiknya, apa yang saya dan ribuan atau bahkan jutaan freelancer di luar sana rasakan, bisa di-“copy” oleh siapapun 🙂

6 Bekal Utama

Skill

Catatan: Ini berlaku saat saya bekerja untuk agensi asing sesuai pengalaman pribadi saya

Di dunia freelancing—termasuk di bidang penerjemahan profesional, ijazah bukan segalanya. Sejak awal saya terjun di dunia penerjemahan saya tidak pernah ditanya lulusan universitas apa, jurusannya apa, S1 atau S2 atau S3, dst. Memang, ijazah adalah semacam bukti validitas dan kemumpunian ilmu yang kita miliki, tapi di dunia freelancing secara umum, itu bukan segalanya. Seorang freelancer hanya akan dinilai dari kapabilitasnya secara nyata. Read More

Daily Output Problems

Seminggu yang lalu saya membaca artikel tentang kemungkinan seorang penerjemah untuk melakukan terjemahan hingga 1.000 kata per jam di sini. Agak kaget juga, mengingat jumlah seribu kata per jam itu ternyata dinyatakan “sangat memungkinkan”. Tapi, apa benar?

“Normal” daily output

Berbicara mengenai produktivitas harian, sejatinya tidak ada patokan resmi mengenai berapa banyak kata yang harus seorang penerjemah hasilkan per hari atau per jam. Beberapa orang mungkin “merekomendasikan” antara 2.000-3.000 kata per hari, dengan asumsi 8 jam waktu kerja. Bahkan, mungkin ada yang standarnya lebih rendah atau malah lebih tinggi dari 2.000-3.000 kata per harinya. Tentu, hitung-hitungan soal output harian dipengaruhi banyak faktor seperti kompleksitas dokumen, penguasaan terhadap materi yang akan diterjemahkan, banyak-tidaknya repetisi dan fuzzy match, dll. Bahkan faktor teknis seperti kapabilitas perangkat komputer yang digunakan untuk menjalankan CAT tools juga tidak bisa dikesampingkan. Semakin bertenaga komputer yang kita miliki, maka akan semakin menunjang produktivitas kita.

Menurut artikel yang saya baca pada artikel di atas, “patokan” 2.000-3.000 kata per hari disinyalir muncul pada era pra-CAT tools, yang artinya proses penerjemahan masih 100% tradisional dan manual. Era di mana translation memory dan termbase “belum bisa” diintegrasikan secara otomatis dan sistematis. Maka bisa dibayangkan, bagaimana “ribetnya” menjaga konsistensi penerjemahan kala itu, kan?

Nah, sekarang, di era CAT tools, proses penerjemahan bisa dibilang hampir 100% otomatis, apalagi beberapa CAT tools memiliki kemampuan untuk dapat terintegrasi dengan mesin penerjemah—meski untuk urusan kualitas, masih tetap memerlukan campur tangan manusia. Maka “idealnya” kapasitas harian seorang penerjemah memang sudah selayaknya meningkat.

Secara teori, jika 1 jam = 1.000 kata, maka 8 jam kerja sehari = 8.000 kata. Itu secara teori. Pada kenyataanya, selama 8 jam kerja, kita tidak mungkin 8 jam nonstop di depan layar monitor. Kita butuh 1 atau 2 jam istirahat. Belum lagi beberapa faktor di atas (kompleksitas dan penguasaan materi, jumlah fuzzy match, performa komputer, dst.), juga tidak sedikit pengaruhnya. Lalu? Read More