“Ih, terjemahan game-nya ngaco!”
“Ngawur nih, nggak sesuai sama versi aslinya.”
“Buset, nama jurusnya lucu. Siapa sih yang nerjemahin? Mending versi Inggrisnya.”
Sebelum menggeluti dunia penerjemahan, entah sekali atau dua kali saya pasti pernah mengucapkan salah satu dari tiga kalimat di atas. Atau bahkan, malah semuanya sudah pernah saya ucapkan! Sekali lagi, itu dulu ya, sebelum saya terjun di industri penerjemahan profesional dan belum merasakan “beratnya” tugas seorang penerjemah.
Kini, penerjemahan game adalah salah satu bidang yang paling sering saya tangani di samping penerjemahan teks teknik. Dari beberapa pengalaman saya mengerjakan transkrip game, ternyata banyak sekali aspek yang bisa menentukan sempurna-tidaknya hasil terjemahan tersebut. Bahkan sekalipun saya sudah berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin dengan sumber referensi dari sana-sini, hasil terjemahan bisa saja dianggap jelek. Nah, aspek apa saja yang bisa menyebabkan terjemahan sebuah game akhirnya dianggap “ngaco” dan “ngawur”?
Tenggat yang pendek
Bagi sebagian orang, tenggat yang pendek tidak boleh dijadikan alasan. Harus profesional apa pun kondisinya. Harus memberikan hasil terbaik. Benarkah demikian?
Pendapat tersebut tidaklah salah. Tapi dalam konteks penerjemahan, seorang penerjemah yang sudah sangat berpengalaman pun punya kapasitas dan ukuran yang wajar. Tidak mungkin, 10.000 kata dikerjakan dalam waktu sehari kecuali 6.000 sampai 9.000 kata di antaranya adalah repetisi (pengulangan). Tenggat yang pendek sangat berpotensi mengurangi atensi penerjemah terhadap hal-hal kecil—yang penting tidak melewati tenggat. Sehingga hasil terjemahan kurang sempurna.
Penerjemah juga harus mencari referensi (melakukan riset) sepanjang proses penerjemahan. Jangan dikira penerjemah tidak butuh referensi. Apalagi jika game yang hendak diterjemahkan adalah game yang sama sekali baru dan banyak istilah-istilah baru buatan si pengembang game tersebut. Bahkan, bukan hanya referensi tertulis saja, penerjemah juga seringkali harus menjajal sendiri game tersebut agar tahu konteks-konteks tertentu dalam game tersebut.
Bagaimana jika tenggat terlalu pendek? Penerjemah tidak dapat melakukan riset, penerjemah tidak punya waktu untuk mencoba game yang bersangkutan, dan penerjemah tidak tahu konteks istilah atau kalimat tertentu. Hasilnya? Hasil penerjemahan jadi “jelek”.
Baca juga: Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Menerima Pekerjaan Terjemahan
Anggaran yang minim dan tarif yang rendah
Anggaran klien yang minim dan tarif yang rendah dari agensi adalah kombinasi buruk. Saya yakin sekali bahwa tidak ada jasa dengan harga murah tapi cepat dan berkualitas. Ada jasa dengan harga murah dan cepat, tapi tidak berkualitas. Ada jasa cepat dan berkualitas, tapi harganya tidak murah. Ada jasa murah dan berkualitas, tapi tidak bisa cepat.
Jika klien memiliki anggaran yang minim, maka penerjemah profesional biasanya enggan menerima job tersebut. Bukan apa-apa, tapi ada harga maka ada kualitas. Kata orang Jawa, rega nggawa rupa, atau harga membawa rupa. Ini adalah suatu keniscayaan. Penerjemah profesional punya hitung-hitungan di mana waktu, tenaga, pikiran, ilmu, dan spesialisasi mereka punya harga tersendiri. Bukankah dokter spesialis selalu lebih mahal tarifnya daripada dokter umum?
Kalau pun ada penerjemah yang mau menerima job dengan bayaran kecil, biasanya mereka adalah orang-orang yang oleh para penerjemah senior disebut “the bottom feeder” atau mereka-mereka yang sekadar mencari receh di internet. Atau kalau kata para mentor saya, “the bottom feeder” adalah orang-orang yang malas memasarkan kemampuannya, tidak mengenal potensi pasar, atau malas berkompetisi dengan penerjemah lain. Berapa saja, asal ada pemasukan biar dapur terus ngebul.
Nah, kalau ada game yang terjemahannya buruk, mungkin itu salah satu karya penerjemah yang kurang profesional dan mau dibayar murah.
Volume yang tinggi
Tak jarang, sebuah game memiliki transkrip (termasuk materi promosi, deskripsi, dan konten situs web resminya) hingga sebanyak 1 juta kata yang harus dipecah ke dalam 10 file, untuk kemudian dikerjakan oleh 10 orang penerjemah. Padahal, setiap penerjemah memiliki gaya tersendiri dalam menerjemahkan. Belum lagi adanya perbedaan tingkat kepiawaian dalam menangani teks game. Apalagi jika ditambah tidak adanya termbase atau glosarium yang dapat dipakai. Tentu sudah terbayang seperti apa hasilnya. Sepuluh jenis terjemahan yang berbeda!
Kurangnya komunikasi dan informasi
Benarkah game yang buruk terjemahannya pasti dikerjakan oleh orang yang kurang profesional seperti yang saya sampaikan di atas?
Belum tentu. Hasil terjemahan yang buruk bisa juga terjadi karena kurangnya komunikasi antara klien dengan penerjemah, atau penerjemah dengan agensi yang memberinya job tersebut.
Beberapa kali, saya pernah mengerjakan game di mana agensi yang memberikan job tersebut sama sekali tidak punya cukup informasi mengenai proyek yang sedang saya kerjakan. Agensi tersebut juga bahkan tidak memiliki akses ke versi trial game yang bersangkutan. Akhirnya, beberapa kali saya minta penjelasan melalui query sheet (untuk kemudian diteruskan ke klien) dan itu pun tidak jelas ke mana perginya sang query sheet, sampai akhirnya tenggat berlalu. Query sheet tidak pernah dijawab, saya tidak tahu apa mau sang klien dengan istilah-istilah “aneh”-nya, kalimat tertentu tidak tahu apa konteksnya, dst.
Hal ini bukan hanya sekali terjadi, tapi berkali-kali. Bahkan sampai fee-nya habis saya pakai untuk makan sehari-hari, saya tidak pernah mendapat jawaban atas query sheet yang saya kirimkan. Satu atau dua pernah ada yang dijawab, pun tampak dijawab sekenanya. Seolah klien memasrahkan pada penerjemah karena penerjemah dianggap lebih tahu!
Query sheet yang tak terjawab, bisa menjadi awal jeleknya hasil terjemahan game!
Baca juga: Penerjemahan Game, Apa yang Perlu Diperhatikan?
Waktu peluncuran game yang mendesak
Tak jarang, pembaruan game dilakukan begitu cepat karena permintaan pengguna atau karena ada persaingan dengan pengembang game lain. Dan yang namanya pembaruan, pasti membawa item baru, tokoh baru, skill baru, level baru, dst.
Semua yang berbau “baru” ini biasanya berkejar-kejaran dengan tenggat. Dengan tenggat dan waktu peluncuran game yang mendesak, penerjemah biasanya jadi kurang awas. Belum lagi, biasanya pengembang game langsung “memasang” hasil terjemahan yang baru ke game yang sudah siap diluncurkan. Tanpa disadari ternyata banyak “cacat” pada terjemahannya. Misalnya suatu teks tidak muat pada tombol, deskripsi game tidak muat dalam satu layar (tidak bisa gulir ke bawah), penempatan tag tidak tepat sehingga menjadi bug dalam game, dll.
Hasil terjemahan dari bahasa lain
Saya sering menerjemahkan game yang bahasa aslinya adalah bahasa Korea, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris, baru minta diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Karena saya tidak tahu bahasa Korea, maka saya tidak tahu apakah terjemahan dari bahasa Korea ke bahasa Inggrisnya tepat atau tidak. Jika terjemahan dari bahasa Korea ke bahasa Inggrisnya saja salah, maka terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia juga berpotensi salah.
Tidak ada proses editing dan proofreading
Dengan anggaran minim, sudah dipastikan klien tidak akan mempekerjakan seorang editor dan proofreader. Klien akan cukup mempekerjakan seorang penerjemah—yang mau dibayar murah. Tanpa proses editing dan proofreading, kesalahan terjemahan bisa tidak terdeteksi. Termasuk hal-hal yang menyangkut teknis, misalnya jumlah karakter, penempatan tag, dsb. Hasilnya? Begitu game diluncurkan ke pasar, terjemahannya akan ditertawakan oleh banyak penggunanya.
Bersambung….
Bagaimana caranya supaya bisa jadi penerjemah game?
Terima kasih banyak
Halo Mba Christine, terima kasih telah berkunjung.
Untuk menjadi penerjemah game pada dasarnya sama dengan menjadi penerjemah dokumen pada umumnya. Hanya saja, untuk berlatih menerjemahkan game, sampai saat ini belum ada “sarana”-nya. Berbeda dengan menerjemahkan dokumen, kita bisa berlatih misalnya di Wikipedia. Tapi karena penerjemahan game itu bisa dibilang sama dengan menerjemahkan dokumen biasa, dengan bekal kemampuan menerjemahkan yang sudah Mba Christine miliki, Mba bisa langsung melamar ke agensi atau menawarkan jasa terjemahan langsung ke developer game. Mba bisa blusukan di Play Store misalnya, untuk melihat-lihat mobile game beserta pengembangnya. Kalau minat Mba adalah game, tonjolkan saja di CV Mba sebagai area of expertise. Kira-kira begitu 🙂
Jika berkenan, silakan berlangganan (subscribe) agar bisa mendapat pembaruan artikel: https://my.sendinblue.com/users/subscribe/js_id/2j4k6/id/1
Terima kasih.