Barangkali tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa jika sudah kuliah jurusan bahasa asing maka akan mudah menjadi penerjemah. Atau malah mungkin berpikir bahwa hanya lulusan jurusan bahasa yang bisa menjadi penerjemah.
Apakah hal tersebut salah?
Tentu tidak!
Lalu?
Poin penting kompetensi penerjemah
Pemikiran di atas, pada kenyataannya tidak sepenuhnya tepat. Menurut pengalaman di lapangan, di luar lulusan jurusan bahasa juga banyak yang “banting setir” menjadi penerjemah. Mengapa demikian? Bukankah lulusan jurusan bahasa jelas “valid” kemampuan berbahasanya?
Pertama, menerjemahkan adalah pekerjaan seni. Dan yang namanya karya seni, bukan hanya lulusan fakultas seni saja yang bisa membuatnya. Demikian juga dengan pekerjaan menerjemahkan, bukan saja “hak” seorang lulusan fakultas bahasa yang sudah pernah menggeluti mata kuliah penerjemahan. Setiap orang dengan minat, bakat, dan kemampuan minimal 2 bahasa, selalu punya peluang untuk menjadi penerjemah. Soal kualitas terjemahan, akan sangat bergantung pada jam terbang dan kemauan untuk terus meningkatkan kemampuan diri (belajar tiada henti). Semakin tinggi jam terbangnya, semakin banyak ia belajar hal-hal baru dan menambah wawasan, maka kualitas terjemahannya dijamin bakal bertambah.
Kedua, salah satu bekal utama menjadi penerjemah adalah kemampuan berbahasa yang baik, minimal 2 bahasa. Misalnya Indonesia dan Inggris, Indonesia dan Jepang, Indonesia dan Arab, dst. Dan dalam konteks penerjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia misalnya, salah satu hal yang sangat, sangat, sangat penting adalah kompetensi berbahasa Indonesia itu sendiri. Jangan berpikir bahwa asal paham bahasa asing dan “pasti tahu” bahasa Indonesia-nya, kita lantas bisa dengan mudah menjadi penerjemah. Bukan seperti itu konsepnya.
Poin penting kompetensi berbahasa Indonesia
Kompetensi berbahasa Indonesia yang dibutuhkan di industri penerjemahan antara lain menguasai gramatikal bahasa Indonesia, EYD, kata-kata dan istilah baku, dsb. Bahkan dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah juga harus “menyesuaikan” kemampuan berbahasanya sesuai dengan materi yang sedang diterjemahkan. Misalnya, jika sedang menerjemahkan novel atau teenlit, maka harus menguasai bahasa yang sedang tren atau yang sesuai dengan genre tulisan. Atau jika sedang menerjemahkan teks buku manual, maka kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan untuk menciptakan kalimat yang praktis, bukan kalimat yang bertele-tele.
Selanjutnya, kompetensi berbahasa Indonesia yang dibutuhkan di industri penerjemahan adalah kemampuan untuk mencari padanan kata yang tidak bisa ditemui (secara langsung) dalam konsep bahasa Indonesia atau pada kamus. Misalnya ada istilah cobblestone, sebuah struktur jalan yang lazim ditemui di Inggris di masa lalu. Bagaimana kita mengartikan cobblestone ini jika konteks penggunaannya di Indonesia? Menurut Kateglo, cobblestone (atau pada Kateglo ditulis “cobble stone”) diartikan sebagai “bentuk bulat”. Apa yang bulat? Belum terlihat makna yang tepat. Lalu, bagaimana kita menerjemahkannya dalam konteks struktur jalan di Inggris pada masa lampau tadi? Jika dilihat dari konteks struktur pembentuk jalan yang berupa batu pecah dan batu-bati kecil (kerikil), mungkin bisa kita samakan dengan “jalan makadam”.*)
*) Dikutip dan disarikan dari diskusi dengan Pak Dewantoro Ratri, seorang penerjemah, interpreter, penulis, dan English trainer dari Sidoarjo.
Contoh lain, misalnya pada kalimat “The decor is undeniably sophisticated and food-wise” dalam konteks makan di restoran. Bagaimana kita mengartikan frasa “food-wise” di sini?
Dalam kamus online seperti Oxford Dictionaries, “food-wise” diartikan sebagai berikut:
Lantas, bagaimana kita mengartikan frasa ini? Mungkin di sini bisa diartikan sebagai “menyajikan hidangan adiboga”. Tentu, menyimpulkan frasa “food-wise” menjadi “hidangan adiboga” harus melihat dulu kalimat sebelum dan sesudah kalimat “The decor is undeniably sophisticated and food-wise” tadi, agar tahu konteks secara menyeluruh.
Ada banyak sekali contoh lainnya, yang bahkan para penerjemah profesional biasanya mengkreasikan sendiri padanan kata yang mereka butuhkan. Bukan sembarang berkreasi, tapi melalui tahapan-tahapan ilmiah yang benar. Misalnya FAQ menjadi tanja (singkatan dari “tanya jawab”), crowdsourcing menjadi urun daya atau daya khalayak, wearables menjadi sandangan, dst.
Lalu, bagaimana kita memperkuat kemampuan berbahasa Indonesia kita? Apa harus dengan berkuliah di fakultas bahasa dan sastra Indonesia?
Tentu tidak. Konsep “menjadi penerjemah” bukanlah melulu soal kuliah di jurusan bahasa A, B, C, dst. Kalau konsepnya demikian, maka hanya insinyur yang boleh menerjemahkan teks teknik? Hanya lulusan fakultas hukum yang boleh menerjemahkan teks legal? Hanya lulusan fakultas ekonomi atau ilmu akuntansi yang boleh menerjemahkan teks laporan perusahaan? Kenyataannya, semua penerjemah boleh menerjemahkan teks apa saja sepanjang menguasai bidang yang bersangkutan atau mau mempelajarinya. Bahkan banyak juga penerjemah yang suka menerjemahkan bidang tertentu bukan karena latar belakang pendidikannya, melainkan latar belakang hobi!
Bagi penerjemah atau calon penerjemah, hal yang utama adalah banyak membaca dan banyak belajar hal baru. Bahkan ketika saya sering “mengadu” pada mentor saya tentang betapa susahnya pekerjaan-pekerjaan terjemahan saya, mentor saya selalu bilang bahwa saya harus banyak membaca tulisan yang berkaitan dengan bidang yang sedang saya kerjakan agar wawasan dan kosakata saya bertambah. Pekerjaan terjemahan terasa sulit dikarenakan kita tidak memiliki cukup pengetahuan pada bidang yang sedang kita tangani. Apalagi referensi dan ilmu pengetahuan kini cuma sejauh jangkauan jari mengetik!
Berikutnya, untuk meningkatkan kemampuan penerjemah dalam membentuk kalimat yang efektif, luwes, dan enak dibaca, calon penerjemah harus banyak menulis dan biarkan orang lain menilainya. Cara termudah adalah dengan menulis blog.
Kesimpulan
Jadi, yang sangat diperlukan oleh seorang penerjemah adalah kemahiran berbahasa. Baik bahasa sumber, maupun bahasa targetnya. Dalam konteks penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia misalnya, maka kemahiran berbahasa Indonesia yang baik dan benar juga harus sangat diperhatikan. Bukan karena bahasa Indonesia adalah bahasa ibu dan bahasa keseharian kita, lantas kita “pasti bisa” menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bukan begitu konsepnya.
Bagaimana untuk mencapai tingkatan “mahir” dalam berbahasa Indonesia? Kemahiran berbahasa Indonesia dapat diperoleh di antaranya adalah dengan banyak membaca dan banyak menulis. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak perbendaharaan kata yang kita ketahui dan semakin banyak pula pengetahuan yang kita dapat. Semakin banyak menulis, maka akan semakin mudah menyusun kalimat-kalimat efektif (termasuk menghasilkan terjemahan) yang sedap untuk dibaca.
tulisan anda sangat informatif sangat sangat berguna . .terimakasih telah berbagi ilmu . saya merasa bnyk terbantu. saya akan terus membaca dan menanti tulisan anda selanjutnya. selamat berkarya .pembacamu, semarang.
Terima kasih sekali atas apresiasinya. Senang jika tulisan saya bermanfaat 🙂
Silakan berkunjung kapan saja. Untuk pembaruan artikel, saya jadwalkan terbit setiap hari Senin. Tiap bulan akan ada artikel pilihan khusus bagi pelanggan, yang dikirim melalui email. Jika berkenan, silakan berlangganan melalui tautan berikut: https://my.sendinblue.com/users/subscribe/js_id/2j4k6/id/1
Terima kasih.