Seperti apa rasanya menjadi seorang freelancer, atau lebih jelasnya, freelance translator (penerjemah lepas) seperti saya? Apakah menjadi seorang pekerja lepas itu berarti benar-benar “bebas”, seperti bebas menentukan hari dan jam kerja, bebas menerima dan menolak tawaran kerja, bebas bekerja dari mana saja, dsb.?
Banyak anggapan yang dilekatkan pada orang-orang yang berprofesi sebagai pekerja lepas (penulis, penerjemah, desainer, pengembang web, dll. yang statusnya freelancer), di antaranya:
- Terlihat lebih sering menganggur dan penghasilannya tidak tentu (tidak mapan);
- Tidak “berpangkat” dan tidak se-keren pekerjaan umum lainnya;
- Jam kerjanya bebas dan pekerjaannya tampak tidak menjanjikan;
- Dll.
Benarkah demikian?
Secara pribadi, ini yang saya rasakan dengan status saya sebagai seorang penerjemah lepas:
1. Hari dan jam kerja saya tidak “bebas”
Ada anggapan bahwa pekerja lepas (freelancer) itu bisa sesuka hati menentukan kapan mau mulai bekerja dan kapan mau selesai bekerja. Kenyataannya?
Memang benar, bahwa sebagai seorang freelancer saya bebas menentukan kapan saya “available” dan kapan tidak. Namun sejatinya, tidak bisa benar-benar bebas seperti yang banyak dibayangkan oleh orang-orang. Misalnya, saya harus memiliki jadwal kerja yang jelas dan tetap. Hal ini penting karena dengan hari dan jam kerja yang jelas, klien atau calon klien jadi tahu kapan waktu yang tepat untuk menghubungi saya. Bisa dibayangkan, seandainya kita tidak jelas kapan bisa dihubungi, maka kita akan kehilangan banyak kesempatan.
Hari dan jam kerja saya adalah dari hari Senin sampai Jumat, mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. Di luar hari dan jam tersebut, saya tidak menerima pekerjaan yang masuk. Kecuali untuk beberapa agensi yang sudah bekerja sama dengan saya cukup lama dan paham ritme kerja saya, biasanya mereka “booking” terlebih dahulu dengan mengirimkan PO beserta file untuk diterjemahkan keesokan harinya. Kalau yang seperti ini, biasanya PO akan saya setujui keesokan harinya. Atau jika PO masuk hari Jumat sore selepas jam kerja saya habis, maka PO akan saya setujui pada hari Senin minggu berikutnya.
Meski jam kerja saya mirip dengan bekerja di kantor, saya juga tetap memiliki kebebasan untuk (misalnya) menolak pekerjaan di jam kerja saya. Tak jarang saya harus menolak pekerjaan yang masuk, misalnya saya tidak menguasai teks milik klien (teks legal, pertambangan, atau medis), tenggat begitu pendek atau order baru masuk padahal jam kerja saya hampir habis (saya jarang sekali mau lembur), beban kerja saya sudah melebihi kapasitas harian saya, atau anggaran yang dimiliki klien terlalu jauh di bawah tarif normal saya—atau kadang ada agenda pribadi atau acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga saya memilih untuk menolak tawaran pekerjaan.
Menjadi penerjemah lepas atau bahkan pekerja lepas (freelancer) di bidang apa pun artinya harus siap dengan jam kerja yang tak menentu. Kadang job masuk tepat saat “jam kerja” kita mulai, kadang masuk saat jam makan siang, bahkan kadang saat kita hendak tidur! Oleh karena itu, pastikan kita konsisten dan konsekuen terhadap jadwal kerja yang kita susun. Jangan karena kita freelance, kita lantas jadi “seenaknya”—kadang standby pagi, kadang standby siang, kadang seharian tidak standby sama sekali.
Disiplin dan membuat prioritas juga harus dilakukan. Karena bagaimanapun, bekerja secara freelance itu sama seperti bekerja secara konvensional: ada deadline, ada manajer, ada ketentuan (permintaan tertentu) dari klien, dan tentu ada bayarannya. Maka dari itu, disiplin dan prioritas juga akan “dinilai” oleh si pemberi kerja. Jika kita tidak bisa disiplin dan tidak mampu membuat prioritas, maka hasil pekerjaan tidak akan maksimal dan kemungkinan kita untuk dipekerjakan lagi akan mengecil.
Baca juga: Bekal menjadi penerjemah lepas
Jika ada rencana untuk offline atau akan pergi selama beberapa saat karena suatu urusan, saya selalu menyalakan fitur autoresponder di email saya. Selain berisi alasan saya offline, saya juga menyertakan informasi kapan saya akan bisa dihubungi kembali (online). Atau, selain menyalakan autoresponder saya juga kadang menyertakan informasi di bawah badan email jika saya akan offline agak lama agar klien atau agensi tidak mencari-cari saya. Misalnya: Please note that due to public holidays, I will not be available from … until …. I will be fully available again on ….
2. Orang bingung (atau menganggap remeh) pekerjaan saya
Banyak orang tidak paham apa yang saya kerjakan, karena saya setiap hari ada di rumah dan berpakaian seadanya, tidak seperti teman-teman seusia saya yang berkarier di berbagai bidang, berpenampilan necis, atau pergi merantau. Banyak yang berhasil, karier menanjak, atau pulang kampung dengan membawa banyak perubahan. Semuanya berubah mapan, sementara saya tampak biasa-biasa saja.
Saya malah punya pengalaman agak pahit sehubungan pilihan karier yang saya jalani. Suatu ketika, saya bertamu ke rumah salah satu guru saya semasa sekolah dulu. Ketika ditanya soal pekerjaan saya saat ini dan saya jawab kalau sekarang saya menjadi seorang penerjemah lepas, beliau malah tampak tidak percaya dan memandang rendah saya. Mungkin anggapan beliau adalah saya menerjemahkan sesuatu menggunakan Google Translate—yang bisa dilakukan semua orang—dan bayaran saya kecil. Mungkin beliau beranggapan bahwa saya tidak mungkin bisa menjadi penerjemah karena saya bukan lulusan fakultas sastra atau fakultas pendidikan bahasa Inggris, tapi cuma pernah “kursus” di politeknik, bukan kuliah di universitas.
3. Saya “dipaksa” untuk terus belajar
Menjadi freelancer itu harus bisa melakukan manajemen, bisa melakukan pemasaran, bisa melakukan (atau berusaha melakukan) apa yang diminta klien meski sebelumnya belum pernah, dan lain-lain. Intinya, semua itu perlu belajar lalu dipraktikkan. Apa yang dulu pernah saya pelajari di bangku kuliah harus saya praktikkan kembali, dan apa yang belum pernah saya pelajari harus saya cari tahu ilmunya.
Kebetulan saya adalah lulusan politeknik jurusan desain grafis dan multimedia. Maka ketika untuk pertama kali saya diminta untuk menerjemahkan teks teknik, bukan saja harus beguru pada penerjemah yang mahir menerjemahkan teks teknik, tapi bacaan sehari-hari saya jadi berubah ke hal-hal yang berbau teknik. Di luar itu, saya harus terus mengikuti perkembangan teknologi, baik dari sisi perangkat keras maupun perangkat lunak. Saya juga harus belajar pengelolaan uang agar tidak “besar pasak daripada tiang”, belajar manajemen waktu agar bisa menangani beberapa tugas sekaligus tanpa melewatkan tenggat, dll.
4. Saya mendapat banyak peluang
Tidak pernah terbayang oleh saya jika ponsel model terbaru, mesin hi-tech yang tidak mungkin (dan tidak perlu) saya miliki, maskapai penerbangan nomor wahid di dunia, produsen software dan hardware kenamaan, pernah saya “pegang”. Maksudnya, dokumen-dokumen mereka saya yang menerjemahkan. Ini sungguh sebuah pengalaman yang tidak mungkin didapat semua orang—kecuali dia juga seorang penerjemah. Saya bahkan pernah ditawari untuk menerjemahkan sebuah dokumen panduan untuk teknisi sekaligus menjajal sebuah perangkat elektronik terbaru langsung di Jepang sekitar satu minggu! Sayangnya tawaran itu saya tolak karena selain belum punya paspor, pastinya juga butuh banyak persiapan yang barangkali tidak semuanya bisa saya penuhi (fisik, mental, kemampuan komunikasi langsung dengan tim dari perusahaan yang bersangkutan, dll.).
5. Saya tetap bersama keluarga
Impian sebagian besar orang adalah bisa bekerja namun tetap dekat dengan keluarga, bisa tetap bekerja namun tidak melewatkan proses tumbuh dan kembang anak, bisa tetap bekerja namun benar-benar “bersanding” dengan pasangan, dll.
Inilah yang saya rasakan setiap hari dengan menjadi seorang freelancer yang bisa bekerja dari rumah: mulai dari bangun tidur sampai hendak berangkat tidur, ada istri dan anak di depan saya, di sebelah saya, di sekitar saya, dan saya ada bersama mereka. Jika saya lelah atau bosan, saya bisa mengobrol, bercerita, atau berkeluh kesah dengan mereka.
Soal keuangan bagaimana?
Bagi saya, menjadi freelancer seperti saat ini jelas sangat membantu keuangan keluarga. Terlebih, penghasilan saya saat ini jauh lebih besar daripada penghasilan dari pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya (sebelum menjadi penerjemah lepas). Soal besarannya mungkin relatif, tapi saya terus berusaha ‘membuntuti’ para senior saya yang per bulannya punya penghasilan delapan digit. Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya, bukan?