Banyak sekali orang yang masih percaya kalau jasa terjemahan itu seharusnya (dan harus) murah. Karena mereka anggap:
- Menerjemahkan itu mudah dan cepat, tinggal salin teks ke Google Translate;
- Menerjemahkan itu juga mudah karena sama seperti mengetik biasa, hanya dalam bahasa lain;
- Menerjemahkan itu tidak butuh pengetahuan di bidang tertentu, bisa dilakukan oleh siapa saja asal bisa bahasa asing, misalnya saja bahasa Inggris;
- Dsb.
Anggapan seperti ini sudah lumrah dialami para penerjemah. Pun dengan saya. Saya sudah beberapa kali mendapat tawaran pekerjaan yang bukan hanya ditawar murah, tapi murah sekali. Terutama oleh orang-orang di sekitar saya, mulai dari guru, teman sekolah, sampai kenalan yang sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung (misalnya hanya kenal lewat jejaring sosial). Semuanya saya tolak sejak awal, karena saya tahu, mereka akan kaget dengan tarif yang akan saya kenakan. Bagaimana tidak, saya yakin 100% bahwa mereka punya tiga anggapan di atas, yang akhirnya saya tidak akan punya posisi tawar sama sekali.
Kejadian yang belum lama ini terjadi, misalnya. Seorang teman saya yang bekerja sebagai staf di universitas setempat menghubungi saya. Ada koleganya yang butuh jasa terjemah untuk menerjemahkan jurnal penelitian tentang administrasi publik, dan ada anggaran dana sebesar seratus ribu rupiah jika bisa selesai keesokan harinya. Melihat rupiah yang ditawarkan, jelas saya tolak. Bahkan sebelum saya tanya jumlah lembarannya atau perkiraan jumlah katanya.
Jauh sebelum kejadian di atas, saya juga sempat dihubungi oleh guru bahasa Inggris dan guru seni budaya SMP meminta modul pembelajaran berbahasa Inggris yang mereka dapat dari internet untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sampai seorang pengusaha lokal yang ingin mempromosikan usahanya di internet dalam bahasa Inggris. Anggaran yang mereka punya, malah di bawah seratus ribu rupiah. Kejam, bukan?
Sepanjang saya berkarier di dunia penerjemahan profesional, saya hampir selalu menolak klien lokal, baik klien langsung maupun agensi. Tapi, membantu kolega saya yang sedang kebanjiran job sehingga butuh bantuan penerjemah lain, saya pernah. Mungkin dua atau tiga kali. Klien dan atau agensi dari luar negeri pun, jika menawar dengan tarif rendah, selalu saya tolak.
Memangnya berapa tarif saya sehingga saya bilang tidak mau bayaran murah? Atau, kenapa sih saya tidak mau dibayar murah, padahal banyak juga lho, penerjemah yang mau dibayar berapa pun?
Berapa tarif saya?
Karena klien dan mitra saya mayoritas dari luar negeri, maka untuk besaran tarif saya tentukan menggunakan mata uang dolar dan euro, dan saya menghitung biaya terjemahan per kata. Untuk rekan-rekan penerjemah lokal yang kebetulan membutuhkan bantuan saya, tetap saya kenakan tarif dasar, namun saat pembayaran sudah dalam bentuk rupiah.
Berapa rupiah/dolar/euro tepatnya tarif per kata saya?
Jika Anda memang membutuhkan jasa saya dan ingin tahu tentang informasi yang satu ini, silakan hubungi saya via surel saja 🙂
Mengapa saya (dan penerjemah profesional lainnya) tidak mau dibayar murah?
Mengapa saya dan banyak penerjemah profesional lainnya tidak mau dibayar murah? Padahal banyak juga orang yang mengaku penerjemah dan mau dibayar “hampir” berapa saja.
Kami para penerjemah profesional tidak mau dibayar murah antara lain karena:
1. Ilmu dan pengalaman
Pekerjaan penerjemahan profesional yang kami lakukan adalah menerjemahkan manual, bukan dengan bantuan mesin seperti Google Translate atau sejenisnya. Artinya, terjemahan yang kami hasilkan adalah hasil berpikir, hasil riset, dan bahkan hasil pendidikan serta pengalaman. Ada banyak proses dan keterampilan yang terlibat dalam proses penerjemahan semacam ini. Mulai dari memahami dokumen secara keseluruhan, memahami konteks kalimat demi kalimat, memilih kosakata yang tepat untuk istilah spesifik, merangkai kalimat demi kalimat dalam bahasa target agar dapat dipahami oleh pembaca, sampai meninjau ulang dan merevisi terjemahan untuk memastikan bahwa terjemahan tidak ada yang terlewat atau salah tik (termasuk tanda baca).
Misalnya, untuk bidang yang sanggup saya tangani yaitu bidang IT, saya menjamin bahwa saya memiliki cukup ilmu di bidang yang bersangkutan. Sehingga saya berani menjamin jika terjemahan saya pasti tidak asal-asalan, dan karenanya saya berani menentukan tarif sesuai ilmu yang saya miliki. Tapi untuk pekerjaan terjemahan yang bidang-bidang ilmunya tidak saya kuasai, jelas akan saya tolak. Misalnya teks hukum (dokumen pengadilan, akta, dokumen perjanjian), teks medis (tentang obat atau yang berhubungan dengan prosedur medis), dll.
Singkatnya, saya tidak ingin “melacurkan” ilmu dan pengalaman yang saya miliki.
2. Waktu
Karena kami menerjemahkan secara manual, maka kami butuh waktu. Saya pribadi sanggup menerjemahkan antara dua ribu sampai tiga ribu kata per hari (8 jam kerja). Jika dalam bentuk dokumen di Microsoft Word, dua ribu kata itu setara dengan sekitar enam atau tujuh halaman A4.
Wah sedikit sekali ya? Itu gambaran umumnya saja.
Lalu, tingkat kesulitan teks juga pasti bervariasi. Teks teknik seperti buku petunjuk manual alat elektronik atau mesin cenderung simpel dan to the point sehingga cenderung lebih mudah dan lebih cepat saat diterjemahkan. Sementara, teks marketing biasanya butuh lebih dari sekadar “mengubah” bahasa sumber ke bahasa target. Teks marketing biasanya butuh terjemahan kreatif. Bisa jadi terjemahannya sama sekali berbeda dengan teks aslinya namun pesan-pesannya tidak melenceng dari teks sumber. Untuk menerjemahkan teks marketing biasanya butuh waktu yang lebih lama daripada teks lain.
Lalu, dari segi kualitas teks sumber. Semakin bagus teks sumbernya (tata bahasa, tanda baca, keterbacaan), maka proses penerjemahan bisa semakin cepat. Tapi jika teks sumbernya saja sudah amburadul, maka akan menghambat proses penerjemahan.
Jadi jika Anda ingin dokumen Anda diterjemahkan dalam waktu singkat, maka bersiaplah untuk membayar lebih mahal karena penerjemah harus “memaksa” dirinya melipatgandakan kemampuannya—atau bahkan mengorbankan waktu istirahatnya—agar bisa memenuhi kebutuhan Anda. Saya pun demikian. Jika misalnya harus mengorbankan waktu istirahat atau waktu dengan keluarga, pasti akan saya kenakan tarif yang lebih mahal.
Satu lagi. Ketika seorang penerjemah mematok tarif dengan besaran tertentu yang Anda anggap mahal, bisa jadi biaya yang Anda keluarkan bukan saja untuk membayar lamanya dia menerjemahkan dokumen Anda. Tapi Anda membayar waktu yang telah dia habiskan untuk mencapai posisinya saat ini—seorang penerjemah berkualitas yang handal dengan banyak pengalaman, yang akan menjamin kualitas terjemahannya sesuai dengan harapan Anda.
3. Kualitas
Ketika Anda mencari seorang penerjemah, apa yang Anda harapkan dari hasil terjemahannya? Teks yang enak dibaca, mengalir, tidak kaku, dan membuat Anda memahami isi teksnya?
Kalau kualitas terjemahan semacam itu yang Anda cari, maka jangan kaget jika Anda tidak bisa menemukan penerjemah yang mau dibayar murah. Penerjemah profesional yang mampu menghasilkan terjemahan dengan kriteria di atas biasanya mematok tarif yang tidak sedikit. Apalagi jika Anda ingin terjemahan yang bagus dan cepat selesai. Pastilah tidak murah.
Coba lihat ilustrasi berikut:
- Anda ingin mendapat terjemahan yang cepat dan murah, pasti hasilnya sampah
- Anda ingin mendapat terjemahan yang bagus dan cepat, pasti harganya mahal
- Anda ingin mendapat terjemahan yang bagus plus cepat dan murah, pasti tidak akan pernah mendapatkannya
Adakah murah tapi bagus?
Saya tidak akan menyamaratakan kalau semua hasil terjemahan murah itu pasti buruk sekali. Memang, seringnya terjemahan murah itu asal-asalan. Tapi tak saya pungkiri bahwa terjemahan bagus dan murah memang ada. Saya bahkan pernah duet dengan seorang penerjemah yang tarif terjemahannya separuh dari tarif saya. Kami bekerja untuk proyek yang sama, namun saya ditempatkan pada posisi editor. Terjemahannya bagus. Sayang, ia mematok harga yang terlalu murah. Alhasil, pendapatan yang ia peroleh dari menerjemahkan malah lebih kecil daripada pendapatan yang saya peroleh dari menyunting terjemahannya—padahal saya hampir tak perlu menyunting terjemahannya, kecuali membetulkan beberapa tanda baca ataupun salah tik (typo). Waktu pengerjaannya juga relatif cepat saya. Sebagai gambaran, ia menerjemahkan dokumen selama tiga hari, sementara saya hanya butuh waktu satu atau satu setengah hari untuk memeriksa terjemahannya. Ibaratnya, ia menerjemahkan dokumen selama tiga hari dan mendapat bayaran dua juta rupiah, sementara saya menyunting terjemahannya hanya butuh waktu satu hari dan mendapat bayaran yang juga sama sebesar dua juta rupiah. Bagaimana bisa? Entahlah. Mungkin karena kebaikan hati klien 🙂
Lalu, saya juga pernah terlibat dalam proyek penerjemahan dengan salah satu agensi lokal. Saat itu, saya diminta oleh klien untuk membentuk sebuah tim untuk mempercepat proses penerjemahan. Singkat cerita, saya membentuk tim dan beranggotakan empat orang (termasuk saya).
Sementara itu, rupanya klien juga punya tim lain: agensi lokal asal provinsi tetangga. Kalau tanggung jawab tim saya hanya ada pada penerjemahan, tim yang kedua ini punya tanggung jawab ganda: menerjemahkan dan membuat glosarium. Tarifnya? Untuk tarif terjemahannya, lagi-lagi hanya separuh dari tarif tim saya. Tahu dari mana? Klien yang memberi tahu. Sementara untuk tarif membuat glosarium, saya tidak mendapat infonya.
Sayangnya, meski terjemahan mereka juga bagus, harganya terlampau murah. Padahal kinerja mereka juga cepat seperti tim kami.
Jadi jelas, ya, kalau saya tidak menyamaratakan hasil terjemahan yang harganya murah itu pasti buruk sekali. Satu banding sekian ribu mungkin akan kita temui penerjemah bagus namun harganya murah.
Murah dan berkualitas, apa faktornya?
Bisa jadi si penerjemah:
- Masih pemula;
- Belum tahu harga pasaran;
- Masih takut bernegosiasi;
- Sedang mencari pengalaman dulu;
- Malas bersaing dengan penerjemah lain;
- Memberikan harga murah hanya pada klien tertentu;
Seratus ribu, dapat apa?
Meski memang ada penerjemah yang mau dibayar murah, tapi kalau anggarannya hanya seratus ribu rupiah untuk sebuah jurnal ilmiah yang mungkin isinya belasan halaman, ya kira-kira yang didapat adalah terjemahan Google Translate, yang bahkan bisa dilakukan sendiri dengan biaya nol rupiah 🙂