Baca dulu: Cara Menghitung Tarif Terjemahan

Ada yang menarik di artikel saya yang tersebut di atas. Ada salah satu pembaca yang bertanya di kolom komentar, “seberapa jauh seorang penerjemah pemula harus merendahkan tarifnya agar ‘kebagian’ pekerjaan penerjemahan dan mendapatkan pengalaman?”. Mengingat hari ini kompetisi di dunia penerjemahan profesional sangat ketat dan dengan adanya machine translation, penentuan tarif memang saya rasa jadi sedikit dilematis. Banyak sekali opsi yang ditawarkan oleh calon klien dan agensi. Mulai dari tarif yang “wajar”, sampai tarif yang tidak masuk akal.

“Seberapa jauh seorang penerjemah pemula harus merendahkan tarifnya agar ‘kebagian’ pekerjaan penerjemahan dan mendapatkan pengalaman?”

Soal menghitung tarif terjemahan, sebenarnya sudah banyak penerjemah dan agensi yang mengupasnya. Bahkan saya juga pernah menuliskannya di sini.

Tapi tentu, selalu ada penerjemah baru setiap harinya, kan? Dan mereka butuh informasi tarif yang sebisa mungkin paling update. Misalnya tentang informasi yang saya tulis di artikel saya sebelumnya (baca di sini), bisa jadi saat ini sudah kurang relevan.

Nah, kita kembali dulu ke pertanyaan pembaca saya di atas.

Terhadap pertanyaan tersebut, saya terpaksa menjawabnya melalui email, karena untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan butuh penjelasan yang cukup panjang. Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan sebelum seorang penerjemah “pemula” memutuskan berapa tarifnya. (Baca jawaban versi pendek di sini).

Siapa klien yang kita bidik

Dalam menentukan tarif, salah satu hal yang harus kita putuskan terlebih dahulu adalah siapa calon klien yang akan kita bidik. Apakah klien lokal (dalam negeri)? Ataukah klien asing (luar negeri)? Apakah klien langsung, atau agensi?

Kalau saya pribadi, lebih suka dengan klien dan agensi asing. Alasannya sangat sederhana: mereka membayar dengan dolar dan/atau euro, yang jika dikonversi ke rupiah, jadi lebih “banyak” yang saya dapat. Misalnya, dibandingkan dibayar 600 rupiah per kata, saya lebih memilih dibayar 0.06 EUR (setara dengan sekitar 900-an rupiah).

Tarif per kata, per lembar, atau per karakter?

Umumnya, penerjemahan teks dihitung berdasarkan tarif per kata, per lembar, dan per karakter. Ada juga yang dihitung per jam, biasanya untuk pekerjaan-pekerjaan kilat dan super mendesak. Mana yang akan kita pakai?

Tarif penerjemahan per kata berarti dihitung berdasarkan jumlah kata teks sumber. Biasanya diberlakukan hitungan Weighted Word Count. Yaitu jumlah kata yang “dimampatkan”, karena adanya pengulangan (kalimat yang sama atau mirip pada dokumen). Jadi misalnya ada sebuah dokumen yang jumlah katanya 10.000 kata, tapi ketika dikirimkan ke kita, hanya tercantum 9.500 kata. Artinya, yang 500 kata adalah pengulangan ataupun fuzzy match. Untuk detailnya, ke mana saja kata-kata itu “hilang”, bisa dilihat di CAT tool yang kita gunakan. Di sana, teks kita akan melihat bagaimana teks kita di-breakdown berdasarkan tingkat match-nya.

Tarif penerjemahan per lembar berarti dihitung berdasarkan jumlah lembar teks sumber dengan format halaman tertentu. Misalnya: kertas A4; spasi 1,5; font Times New Roman 12 pt; margin kanan, kiri, atas, dan bawah 3 cm, dst. Dengan begitu, klien tidak akan berusaha mengakali jumlah halaman. Misalnya menggunakan pengaturan kertas Legal, font 9 pt, spasi 1, margin masing-masing sisi 1 cm.

Tarif penerjemahan per karakter berarti dihitung berdasarkan jumlah karakter teks sumber. Ini biasanya diberlakukan pada teks sumber yang tidak menggunakan huruf latin atau alfabet. Misalnya karakter bahasa Jepang, Korea, dan Mandarin. Hal ini dikarenakan dalam aksara mereka, 1 karakter bisa jadi memuat lebih dari 1 kata, atau bahkan 1 karakter sama dengan 1 kalimat.

Tarif penerjemahan per jam berarti dihitung berdasarkan lamanya pengerjaan suatu teks. Umumnya, diterapkan pada teks-teks yang tidak terlalu panjang, misalnya di bawah 1.000 kata dan harus selesai sesegera mungkin (misalnya harus selesai dalam 1 jam ke depan). Tarif ini juga umumnya diberlakukan sebagai tarif “minimum”. Jadi berapa pun jumlah katanya, misalnya harus selesai dalam jangka waktu 1 atau 2 jam, maka tarif ini diberlakukan. Selain itu, tarif per jam juga biasa diterapkan pada penerjemahan teks-teks kreatif (transcreation) seperti tagline, motto, iklan, dll. Khusus untuk teks jenis tagline dan kawan-kawannya ini, satu baris kalimat saja bisa menghabiskan waktu berjam-jam atau bahkan seharian penuh, lho!

Bidang industri yang kita geluti

Beberapa bidang industri yang sifatnya “umum” seperti IT (game, UI, perangkat lunak) biasanya tarifnya “lebih murah” dibandingkan dengan bidang-bidang yang lebih spesifik atau membutuhkan ahli bidang studi (subject matter expert) tertentu. Artinya, jika kita hanya mahir di satu bidang yang sifatnya umum, bisa jadi kita akan kesulitan menentukan tarif karena di pasaran mungkin telah berlaku tarif wajar tertentu.

Contoh: kita hanya baru bisa menerjemahkan game, dan tarif umum di pasaran misalnya 500 rupiah per kata. Maka kita pasti akan kesulitan menerapkan tarif sebagaimana tarif untuk teks-teks medis, kimia, pertambangan, atau bidang lain yang lebih spesifik lagi.

Jika ada lebih dari satu bidang yang kita kuasai, bagaimana? Apakah kita terapkan tarif yang berbeda, atau sama?

Jika kita bekerja untuk klien langsung, kita sebaiknya membedakan tarif sesuai dengan topik teks/dokumen. Tapi jika kita bekerja untuk agensi, biasanya kita hanya bisa menerapkan satu tarif. Tapi kadang ada pula—meski cukup jarang—agensi yang mau memberlakukan dua tarif: satu untuk tarif terjemahan secara umum, satu lagi untuk bidang yang sangat spesifik.

Kapasitas kerja

Semakin tinggi output yang bisa kita hasilkan tiap harinya (tentu dengan diimbangi kualitas), maka kita “berhak” mengajukan tarif yang lebih tinggi. Sesederhana itu.

Kebutuhan bulanan

Nah, ini yang sebenarnya sangat penting dan paling utama. Tidak bisa begitu saja dibandingkan dengan orang lain, hehehe. Kita tidak bisa mengelak, bahwa kita bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan untuk sekadar berbakti kepada ilmu pengetahuan, bangsa dan negara, atau apa pun. Kita juga tentu tidak mau, kerja mati-matian setiap hari tapi “bayaran” kita belum mencukupi kebutuhan bulanan. Iya, kan?

Sederhananya, kalau kebutuhan kita 20 juta/bulan, maka dengan kapasitas kerja x dan tarif sebesar y, berapa proyek yang harus kita pegang selama sekian hari kerja? Jangan sampai kita mengerjakan pekerjaan sebulan penuh, tapi fee yang kita dapat hanya separuh dari kebutuhan bulanan kita.

Meski untuk tujuan pemenuhan kebutuhan hidup, kita tidak bisa seenaknya menentukan tarif asal ikut mendapat “bagian” di industri penerjemahan ini.

Coba saya beri gambaran seperti ini:

Pertama, cobalah hitung kecepatan terjemah kita. Misalnya, ambillah teks yang tidak terlalu “berat” dari Wikipedia atau dari situs apa pun lalu terjemahkan. Anggaplah dalam 1 jam, kita mampu menerjemahkan 350 kata (350 WPH);

Kedua, coba kalikan jumlah kata per jam tersebut dengan beberapa nominal tarif untuk bisa melihat “gaji” per jam kita. Misalnya:

  • 350 WPH x 0,03 USD = 10,5 USD/jam
  • 350 WPH x 0,04 USD = 14 USD/jam
  • 350 WPH x 0,05 USD = 17,5 USD/jam
  • Dst.

Dari “gaji” per jam kita tersebut, kita sudah bisa memperkirakan pendapatan kita jika dikalikan dengan jumlah jam kerja kita dalam sehari atau jumlah hari kerja kita dalam sebulan. Dari “gaji” per jam ini pula kita dapat menghitung berapa kata yang “seharusnya” kita pegang. Tapi ingat, ini hanya hitung-hitungan kasar, karena belum tentu setiap hari kita mendapat pekerjaan terjemahan. Mungkin dalam 1 bulan kita akan menghadapi hari-hari tanpa menerjemahkan, mendapat pekerjaan terjemahan namun volumenya sedikit, atau hanya mendapat pekerjaan menyunting terjemahan yang umumnya bertarif separuh dari tarif menerjemahkan. (Sumber: cara mengitung tarif terjemahan per kata).

Nah, untuk seberapa jauh seorang “pemula” harus merendahkan harga agar mendapatkan pengalaman? Saran saya:

1) Jangan melakukan penerjemahan berbayar untuk mencari pengalaman

Kalau tujuannya untuk mencari pengalaman, saya sarankan untuk tidak mengambil job berbayar. Kenapa? Karena akan susah, kita tampil sebagai pendatang baru dengan harga tinggi. Jual murah, bisa merusak pasar dan merusak citra kita sendiri (plus kehilangan potensi pendapatan yang lebih baik). Pada kenyataannya, di pasar, sekali kita memberikan harga murah, hampir mustahil untuk meminta kenaikan harga. Sekali kita naikkan harga kepada klien yang sama, bisa jadi mereka akan pindah ke penerjemah lain yang lebih murah. Jadi, jangan start dari harga rendah hanya gara-gara kita pemula.

Lalu biar dapat pengalaman, bagaimana?

Saran saya, kerjakan proyek-proyek sukarela, atau kalau bisa, dengan “berguru” kepada penerjemah senior. Bantu mereka dengan pekerjaan mereka. Dengan begitu, ketika kita mencari klien untuk diri kita sendiri, kita bukan 100% pemula, tapi sudah punya pengalaman dan jam terbang. Bisa juga dengan masuk agensi (misalnya jadi freelancer), terutama agensi asing. Dengan bergabung di agensi, kita akan dapat banyak pengalaman karena ada banyak bidang industri yang bisa kita ambil sesuai kemampuan kita (misalnya IT + fesyen + otomotif). Plus, dengan bayaran dolar atau euro, tarif kita jadi lebih tinggi. Bahkan jika suatu agensi menawarkan tarif sebesar 0.03 euro sekalipun, jika dirupiahkan kita masih dapat sebesar 450-500 rupiah.

2) Mulai dari harga umum

Meskipun beberapa dari kita adalah “pemula”, kita sebenarnya bukan benar-benar pemula, lho. Kita pasti punya ilmu bahasa dan pemahaman industri tertentu yang didapat dari bangku kuliah, dll. Soal bahasa, sebagian besar dari kita bukan pemula, karena sudah kuliah, serta dapat ijazah dan/atau sertifikat—yang artinya kita sudah mahir soal urusan bahasa. Kita hanya baru start sekarang. Jadi, dengan segala ilmu dan pengetahuan kita, jangan mematok tarif rendah. Mulailah dengan tarif umum. Misalnya untuk kawasan Asia, 5 sen dolar (anggap saja 500 rupiah per kata, lah)—jangan mulai dari harga yang lebih rendah dari itu.

Kalau hitung-hitungan saya, tarif di bawah 5 sen dolar sangat tidak masuk akal. Bukan karena saya sudah lama di dunia penerjemahan, tapi karena harga di bawah itu sangat “meremehkan” kita sebagai orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan. Bayangkan, jika ada sebuah proyek bervolume 10.000 kata, dengan tarif 300 rupiah, kita hanya akan mendapatkan bayaran sebesar 3 juta rupiah. Padahal dengan ilmu yang kita miliki, jika tarif kita misalnya sebesar 500 rupiah, maka kita akan mendapatkan bayaran sebesar 5 juta rupiah. Dengan tarif 300 rupiah, kita sudah kehilangan potensi pendapatan sebesar 2 juta. Betul?

Kadang kita hanya kalah start dan jam terbang saja. Padahal ilmu tata bahasa, pengetahuan di bidang industri tertentu, dan kecepatan kerja kita pasti tidak kalah hebat dari orang yang lebih dulu terjun di industri penerjemahan, kan?

Tapi kalau tarif kita terlalu tinggi, mana bisa dapat klien?

Siapa bilang?

Ibarat mobil, Avanza yang harganya ratusan juta memang laku keras, tapi Ferrari yang harganya miliaran juga laku. Iya, kan? Begitu juga dengan jasa terjemahan. Kalau pun tidak laku di sini, di tempat lain pasti laku. Tapi memang untuk mencari yang pas dengan tarif kita, kita harus kerja ekstra: barangkali promosi lebih kencang, tawarkan nilai plus, dst.

Nah, bagaimana, apakah ada gambaran? Jika ada yang perlu ditambahkan atau ditanyakan, boleh tulis di kolom komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.